Hanya
beberapa hari setelah dilantik, jjaran direksi Perum Bulog yang baru bertemu
dengan pengusaha dan pedagang beras besar dari pusat-pusat produksi dan
konsumsi beras nasional. Pertemuan berlangsung Juni 2015.
Pertemuan itu menjadi semacam “ajang rekonsiliasi”. Soalnya, beberapa waktu sebelumnya hubungan Perum Bulog dan pelaku usaha perberasan nasional renggang, menyusul stigma mafia beras yang berlarut-larut.
Sikap Bulog sebelumnya terkesan mengabaikan mereka. Swasta dianggap kompetitor. Program stabilisasi harga beras melalui mekanisme operasi pasar (OP) tidak melibatkan mereka. Bulog jalan sendiri menggandeng TNI AD.
Harga beras pun meningkat. Pada Maret 2015, harga beras di tingkat konsumen naik hingga 30 persen. Tertinggi sepanjang sejarah. Pendapatan masyarakat terus tergerus.
Pada saat yang sama Bulog kesulitan membeli beras. Dalam periode pengadaan Januari-Mei 2015, realisasi pengadaan beras Bulog baru 700.000 ton dari target internal 2,47 juta ton dan permintaan Presiden Joko Widodo 4,5 juta ton.
Pemerintah pun merombak jajaran direksi Bulog. Jajaran direksi Bulog yang baru harus bisa memenuhi target pengadaan beras melalui jalur PSO dengan instrument harga pembelian pemerintah (HPP). Padahal, puncak panen sudah berlalu dan harga gabah/beras naik jauh diatas HPP.
Saat itu ada beberapa opsi untuk optimalisasi pengadaan Bulog. Salah satunya dengan mengimbau petani yang mendapat subsidi sarana produksi agar menjual gabah ke Bulog.
Akan tetapi, itu tidak mudah dan tidak ada jaminan berhasil. Karena tak jarang petani sudah terikat kebutuhan, bahkan sudah terbelenggu utang dengan tengkulak.
Bulog tentu tidak bisa tinggal diam. Pucuk dicinta ulam tiba. Di tengah situasi terjepit itu hubungan Bulog dengan pelaku usaha perberasan kembali pulih. Kerja sama dibuat. Swasta menjual beras ke Bulog dengan kualitas lebih baik, melalui jalur komersial. Pelan tapi pasti, gudang Bulog terisis. Total beras swasta yang dijual ke Bulog memalui jalur komersial sebanyak 600.000 ton. Dengan tambahan pembelian beras jalur komersial, total pengadaan beras Bulog hingga akhir September 2015 bisa tembus 1,7 juta ton. Ada tambahan 1 juta ton dalam 3 bulab.
Perjanjian itu bukan tanpa kesepakatan. Swasta yang menjual beras premium lewat jalur komersial Bulog juga ditugasi menyalurkan beras tersebut saat OP untuk stabilisasi harga.
Dengan berbagai kesepakatan itu, tidak ada alasan bagi pelaku usaha untuk bermain harga. Karena itu, mayoritas para pelaku usaha perberasan mendukung sepenuhnya program pemerintah, bahkan menjamin akan mengawal harga beras agar tidak bergejolak.
Para pelaku usaha juga sudah bersepakat untuk tidak menyimpan beras. Beras yang dipanen akan langsung diolah dan digelontor ke pasar. Itu sebagai wujud nyata dukungan mereka kepada pemerintah.
Memang harga beras yang stabil tinggi tidak bisa dihindari. Karena harga beras yang tinggi sudah terbentuk di awal tahun dan sulit menekannya kembali. Yang bisa dilakukan menjaga agar tidak bergejolak, walaupun di musim paceklik sekalipun.
Di luar perkiraan, pemerintah berencana mengimpor beras. Keputusan impor beras ini mengejutkan. Dengan masuknya beras impor, harga beras bakal tertekan. Kesulitan dihadapi pelaku usaha yang menjual beras komersial Bulog ke pasar.
Para pelaku usaha berharap, pemerintah bisa bersikap bijaksana mengingat peran swasta yang sudah membantu pengadaan beras Bulog 2015.
Sumber : Kompas